Follow Us

|
JADWAL SHOLAT Subuh 04:40:55 WIB | Dzuhur 11:59:10 WIB | Ashar 15:19:22 WIB | Magrib 17:52:17 WIB | Isya 19:04:59 WIB
BERITA UTAMA

Arah Strategi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Rabu, 30/10/2024 | 21:51 WIB | NEWS
Reporter: Getar Merdeka Red IT: Firman Wage Prasetyo
□Kolom
Oleh: Pihri Buhaerah - detikNews
■Foto ilustrasi: Grandyos Zafna Getty Images © 2024 GetarMerdeka.com
Jakarta, GetarMerdeka.com — Target pertumbuhan 8% dijanjikan Presiden Prabowo Subianto dalam lima tahun ke depan. Ia menyampaikan optimisme itu pertama kali dalam Geoportal One Map Policy 2.0 dan White Paper OMP Beyond 2024, Juli 2024. Hingga beberapa hari jelang pelantikannya, ambisi tersebut masih menjadi pembicaraan hangat. Tak hanya pakar ekonomi, masyarakat juga merespons "cita-cita mulia" tersebut. Namun tak sedikit yang meragukan. Pasalnya sejak Reformasi, pertumbuhan kita belum pernah kembali menyentuh level tersebut.
Sejumlah pakar telah merekomendasikan berbagai strategi dan kebijakan untuk mendorong misi 8 persen tersebut. Sayangnya, narasi yang dibangun sejauh ini masih mengerucut pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sisi industri (supply side). Mulai dari peningkatan investasi dan produktivitas hingga hilirisasi sumber daya alam. Padahal kita tahu, menggenjot investasi dan produktivitas dalam waktu cepat selain sulit juga kurang realistis. Jika dipaksakan, maka pertumbuhan mungkin saja tercapai, namun sangat rapuh, karena tidak ditopang oleh fondasi yang kuat.
Oleh karenanya, dalam periode 2025-2027, strategi pertumbuhan ekonomi pemerintah sebaiknya perlu lebih diarahkan pada penguatan sisi permintaan (demand side) terlebih dahulu daripada penguatan supply side. Salah satu alasannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan struktur permintaan domestik yang kuat. Tanpa adanya struktur permintaan dalam negeri yang kokoh, sulit rasanya mencapai target tersebut.
Apalagi struktur permintaan dalam negeri saat ini bisa dikatakan kurang kuat. Indikatornya terlihat dari masih tingginya rasio pekerja informal (59,1%), tingkat pengangguran terbuka (5,3%), dan tingkat setengah pengangguran (6,7%). Dalam konteks ini, maka agenda peningkatan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah lima tahun ke depan menjadi sangat penting.
Mendorong Demand Side
Menengok ke belakang, pertumbuhan Indonesia pernah mencapai level tinggi pada 1973, 1977, dan 1995. Pada saat itu economic growth bahkan menembus 8 persen meski rasio investasi terhadap PDB tergolong rendah. Sementara itu, kontribusi konsumsi rumah tangga rata-rata mencapai 66 persen terhadap PDB, dan belanja pemerintah rata-rata menembus angka 10 persen. Menariknya rasio investasi pada saat itu hanya di angka 17,9 persen (1973), 20,1 persen (1977), dan 28,4 persen(1995). Namun dengan "modal" investasi segitu, nyatanya pertumbuhan mencapai 8 persen.
Tak hanya Indonesia, Korea Selatan juga pernah mengalami periode pertumbuhan di atas 8 persen (1960-1973) meski rasio investasi terhadap PDB pada periode tersebut hanya di angka 20 persen terhadap PDB. Hal itu mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan rasio investasi terhadap PDB. Sebaliknya, rasio konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah yang tinggi memberikan jaminan kepastian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Syaratnya, agenda penurunan pengangguran harus diprioritaskan dan diarusutamakan baik dalam RPJMN maupun APBN. Alasannya, pengangguran sejauh ini masih dilihat sekadar fenomena kurangnya lapangan kerja atau rendahnya keterampilan para pencari kerja. Padahal, jika ditelisik lebih mendalam, pengangguran sejatinya adalah "virus" yang jika dibiarkan terus menerus terjadi akan menimbulkan kerugian (langsung dan tidak langsung) yang besar pada negara, masyarakat, dan individu.
Beberapa studi telah mengungkap betapa mahalnya beban biaya yang harus ditanggung negara, masyarakat, dan individu akibat persoalan pengangguran yang tak kunjung selesai. Di Australia, total kerugian akibat pengangguran mencapai 33,5 miliar dolar atau setara dengan 5,5 persen terhadap PDB Australia (Watts & Mitchell, 2000). Di Arab Saudi, total kerugian imbas pengangguran sebesar 95 milyar dolar atau 13,7 persen terhadap PDB riil (Alrasheedy, 2019).
Sementara itu, jika pengangguran diselesaikan secara cepat, maka perekonomian akan tumbuh lebih cepat dan menjanjikan. Terkait hal itu, Hukum Okun (Okun's Law) yang diperkenalkan oleh ekonom Arthur Okun menyatakan bahwa penurunan tingkat pengangguran satu persen akan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi 2 persen (Abel & Bernanke, 2005). Artinya, jika ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 8 persen maka tingkat pengangguran perlu diturunkan ke level 2 persen.
Syarat lainnya, pemerintah perlu bertindak sebagai employer of the last resort (ELR). Dalam konteks ini, pemerintah perlu memperluas perannya sebagai penyedia lapangan pekerjaan di sektor publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Alasannya, permintaan tenaga kerja sektor pemerintah tidak mengikuti siklus bisnis sehingga naik turunnya permintaan tenaga kerja sektor pemerintah tergantung dari tingkat pengangguran yang ingin dicapai. Bahkan jika kondisi ekonomi lagi krisis, permintaan tenaga kerja sektor pemerintah bisa naik signifikan.
Job Creation
Sebaliknya, permintaan tenaga kerja sektor swasta terkait dengan siklus bisnis. Permintaan akan naik saat kondisi ekonomi sedang tumbuh dan juga dapat turun saat kondisi ekonomi lagi lesu. Selain itu, sektor swasta hanya merekrut pekerja sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka untuk memaksimalkan keuntungan. Apalagi, tenaga kerja dari sisi pengusaha adalah biaya yang harus diminimalkan.
Kesimpulannya, sektor swasta tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan persoalan pengangguran. Oleh karenanya pemerintah harus mengisi ruang itu agar terjadi job creation massal, sehingga dapat menyelesaikan persoalan pengangguran. Banyak strategi yang bisa dilakukan, mulai dari membuat program padat karya, membatasi pekerja asing kurang terampil, maupun merevitalisasi sektor pertanian.
Padat karya bisa dilakukan dengan menarik sebanyak mungkin tenaga kerja pada bidang-bidang; pertama, pembangunan/perawatan infrastruktur desa. Kedua, pemanfaatan lahan tidur untuk meningkatkan produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Ketiga, pemberdayaan warga melalui pengelolaan sampah, limbah, lingkungan pemukiman, dan sebagainya. Keempat, petugas kebersihan jalan, sebagaimana PPSU di Jakarta. Jika semua kabupaten, kota di Indonesia melakukan hal yang sama, akan ada puluhan ribu lapangan kerja baru di sektor ini.
Sampai titik ini dapat dikatakan bahwa agenda pengurangan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja di sektor publik bisa dijadikan sebagai solusi tercepat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi naik ke level 8 persen. Sayangnya, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi pengangguran hingga kini ujung-ujungnya berupa program pelatihan meski para penganggur lebih membutuhkan pekerjaan daripada pelatihan. Jika solusi terhadap persoalan pengangguran masih berbasis pelatihan, maka tingkat pengangguran rasanya sulit untuk turun secara signifikan. Implikasinya, target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 mendatang rasanya akan meleset.
Pihri Buhaerah peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN
#Simak Video: Prabowo Pede Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Tembus 8%, Ini Kata Airlangga (mmu/mmu/desk*)
Sumber: detikcom
#Saksikan Live TVGM ONLONE Live TV Digital Streaming Video Channel-8:
#IKLAN ADVERTORIAL ADVERTISEMENT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Iklan Advertorial Advertisement #follow Channel WhatsApp Getar Merdeka and Subcription Link YouTube GetarMerdeka.com TVGM ONLINE Live TV Digital Channel-8 WhatsApp +6281806227514 Akulah Indonesia Merdeka!!! Salam Kebangsaan @BungRonz
[gmc/dtc/ro1/adv]
SHARE

Indonesia Satu

Merdeka Network

Ekonomi Bisnis

Trending Selebriti

Citizen Jurnalism


ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT