Follow Us

|
JADWAL SHOLAT Subuh 04:40:55 WIB | Dzuhur 11:59:10 WIB | Ashar 15:19:22 WIB | Magrib 17:52:17 WIB | Isya 19:04:59 WIB
BERITA UTAMA

Strategi parpol mendompleng popularitas Jokowi demi suara di Pemilu 2019

Journalist: Wisnoe Moerti/ desk info | Kamis, 15/03/2018 | 16:17 WIB
Getty Images ©2018 GetarMerdeka.com - Jokowi panen jagung. ©2018 Humas Kemenko Perekonomian
Jakarta, GetarMerdeka.com - Lima partai politik sudah mendeklarasikan dukungan politik untuk Joko Widodo sebagai calon presiden yang akan bertarung di Pemilihan Presiden 2019. Partai Nasional Demokrat (NasDem) menjadi yang pertama mengumumkan dukungannya untuk pria yang akrab disapa Jokowi. Disusul Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Terakhir, partai penguasa yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Partai-partai pendukung cukup rajin memuji kinerja dan kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden. Capaian kinerja selama empat tahun dijadikan modal agar Jokowi bisa kembali memimpin Indonesia periode lima tahun ke depan. Tidak hanya lima partai itu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sampai saat ini belum memberikan dukungan resmi, juga ikut memuji Jokowi. Bahkan PKB menyatakan loyalitas dan kesetiaannya selama kepemimpinan Presiden Jokowi.
Bermodal jaminan kesetiaan, partai yang dibentuk Gus Dur ini menawarkan Ketua Umumnya yakni Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi. Seolah tak mau kalah, PPP sebagai partai yang sudah memberikan dukungan untuk Jokowi, juga mengajukan Ketua Umumnya yakni Romahurmuziy sebagai calon wakil presiden.
Dengan alasan sebagai salah satu partai besar, Golkar juga mulai menampilkan Ketua Umum Airlangga Hartarto yang dinilai pantas bersanding dengan Jokowi. Partai Hanura juga menyodorkan nama Ketua Dewan Pembina yakni Wiranto sebagai cawapres Jokowi. Berbeda dengan Partai NasDem yang tidak mengajukan cawapres namun berulang kali menegaskan loyalitasnya memenangkan Jokowi di Pilpres 2019.
Tidak heran jika gerak-gerik parpol menyanjung dan mendekatkan diri dengan Jokowi sebagai figur calon presiden, semakin intensif jelang pemilihan legislatif 2019. Direktur Utama Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanafi menuturkan, dalam psikologi politik, cara ini disebut pengaruh ekor-jas atau coat-tail effect. Ini sebagai strategi politik partai mendongkrak elektabilitas dengan mendompleng popularitas figur.
Apalagi sampai saat ini Jokowi masih kokoh sebagai calon presiden yang paling populer dengan tingkat elektabilitas tinggi di berbagai lembaga survei.
"Calon presiden yang diusung partai bisa berpengaruh pada elektabilitas partai yang mengusungnya. Kalau calonnya populer dan elektabilitas tinggi, bisa pengaruh positif ke partai pendukungnya. Sebaliknya kalau calonnya kurang populer dan elektabilitas rendah bisa pengaruh negatif ke partai," jelas Djayadi saat berbincang dengan merdeka.com, semalam.
Strategi ini terang-terangan pernah diungkapkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Saat acara syukuran di kediaman Agung Laksono bulan lalu, Airlangga mengatakan bahwa Golkar harus bisa memanfaatkan kedekatan dengan Jokowi sebagai salah satu modal untuk mendulang suara di Pemilu 2019.
"Kita harus co-branding dengan pak Jokowi dan yang pertama dukungan pak Jokowi kita harus manfaatkan itu, maka kita harus kapitalisasi pemenangan pemilu legislatif," kata Airlangga ketika pidato syukuran Kosgoro 1957 di rumah Agung Laksono, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Kamis (8/2).
Djayadi melanjutkan, dengan popularitas Jokowi yang tinggi, parpol pendukung sangat berharap mendapat 'durian runtuh' yang bisa mendongkrak suara mereka di pemilihan legislatif. Karena itu partai politik akan membangun persepsi agar di mata publik terlihat sebagai pendukung setia Jokowi sang calon presiden. Selama ini yang mendapat keuntungan kenaikan elektabilitas hanya PDIP. Sebab, Jokowi adalah kader PDIP.
Kini partai lain di luar PDIP berlomba-lomba memperebutkan suara pendukung Jokowi. Apalagi di barisan partai pendukung Jokowi, ada dua partai yang dari hasil survei menunjukkan elektabilitasnya rendah dan terancam tak lolos di DPR. Tengok saja hasil survei Lingkaran Survei Indonesia belum lama ini. PPP hanya mendapatkan 3,5 persen dan Hanura 0,7 persen. Hanya NasDem yang perolehan suaranya sedikit di atas ambang batas yakni 4,2 persen.
"Wajar kalau partai berusaha membangun kesan di masyarakat bahwa partai mereka punya hubungan kuat dengan jokowi walaupun sulit menyaingi kedekatan Jokowi dan PDIP," tegasnya.
Dia menjelaskan, dalam survei SMRC Januari lalu, elektabilitas Jokowi masih di angka 55 persen. Sedangkan total suara PDIP masih 27 persen. Artinya, masih ada 28 persen suara pendukung Jokowi yang bisa diperebutkan empat partai. Karena itu Djayadi tidak heran jika NasDem membuat baliho Jokowi presiden di seluruh pelosok nusantara, termasuk gambar Jokowi di pesawat Surya Paloh.
"Minimal partai pengusung (Jokowi) tidak tenggelam dan bisa pertahankan elektabilitasnya."
Hal sama juga bisa dilakukan partai pendukung dan pengusung Prabowo Subianto. Dalam survei SMRC, suara Prabowo mencapai 17 persen. Sedangkan suara yang diperoleh Gerindra di kisaran 7-8 persen.
"Ada 10 persen suara pendukung Prabowo yang bisa diperebutkan partai lain seperti PKS, atau Gerindra jika ingin menaikkan elektabilitasnya," ucapnya.
Tidak dipungkiri, elektabilitas Gerindra sangat tergantung popularitas mantan Danjen Kopassus itu. PKS yang sudah menyatakan bakal berkoalisi dengan Gerindra, masih berpotensi terdongkrak elektabilitasnya jika mendukung Prabowo.
[mdk/noe/gmc]
Redaktur IT : Firman W. Prasetyo
Sumber : merdekacom




ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia Satu

Merdeka Network

Ekonomi Bisnis

Trending Selebriti

Citizen Jurnalism